Sepucuk Surat Untukmu

Rabu, September 30, 2015

Hai kamu, apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Disini, aku mungkin tak seperti dugaanmu. Yang dapat tertawa ceria dengan lesung pipit yang sedikit demi sedikit timbul karna bentuk mukaku perlahan berubah.


Ya, aku tak sebaik dugaanmu. Kau tahu? Bisa dibilang, kini aku hancur. Berkeping-keping. Hanya menyisakan butiran kecil yang transparan—atau kau biasa sebut itu dengan air mata. Ya, hanya tangisku yang tersisa. Dibalik hingar bingar kehidupan ini, aku berada di sebuah lorong sempit kedap cahaya dan tak terbatas. Aku terus berjalan kedalam lorong itu, tanpa aku tahu sebabnya. Aku hendak berhenti, namun kaki ini memaksaku untuk terus jalan ke depan.

Kau tahu? Ini menyesakkanku. Melihatmu—orang yang selama ini aku tunggu kehadirannya, orang yang selama ini membuatku tersenyum, orang yang selama ini dapat menghiburku dikala aku sedih, orang yang (dahulu) selalu ada untukku—kini hilang tanpa jejak, bagaikan ditelan bumi. Mungkin ini salah satu faktor ketidakberhentian kakiku melangkah kedalam lorong itu. Yang aku benar-benar tidak ketahui sekarang adalah, apakah lorong itu akan berujung pada sebuah cahaya baru, atau justru sebuah jurang yang telah menungguku diujung? Menghendakiku agar aku jatuh kedalam nya, dan tak pernah kembali? Atau apa?

Menghilang dari kehidupanmu sama seperti memasukkan pasta gigi kedalam tempatnya semula—dapat dilakukan namun hampir mustahil. Aku tahu kau telah bahagia kini dengan seseorang yang baru. Dan… akupun tak dapat berbuat apa-apa.

Dengan ditulisnya surat ini, aku mengiinkan air mataku untuk tumpah. Hingga tak ada sedikitpun yang tersisa. Aku biarkan air mata ini tumpah bersamaan dengan kesedihanku yang perlahan mulai meluruh. Aku biarkan air mata ini tumpah untuk mengartikan bahwa aku kuat, bahwa aku dapat melewati semua kesedihan ini.

Namun apa kau tahu apa yang terjadi setelah hari itu? Aku sedih tetapi tak dapat menangis. Aku meronta tapi tetap diam tak bergerak di tempat. Aku berjalan tanpa arwah, seperti… ada yang hilang. Mungkin orang mengira bahwa yang hilang dari diriku adalah separuh jiwaku yang lain. Kenyataannya adalah akupun sendiri masih cukup dibingungkan dengan perasaan kehilangan ini. Apa ini semacam perasaanku ketika kehilangan dirimu?

Baiklah kalau memang itu adanya. Tenang saja, aku akan berusaha menerima takdir kok.

-Dari diriku—orang yang pernah mencintaimu

secara tulus selama beberapa tahun-

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Theme by: Pish and Posh Designs