Hai dirimu,
apa kabar? Baru saja kita bertegur sapa hari ini. Rasanya sudah lama ya kita
tak berbicara seperti ini lagi. Sudah kurang lebih… aku tak dapat
menghitungnya. Mungkin itu sebabnya aku merasa ini sangatlah lama. Kau tahu? 3
tahun kita bertemu, dengan percakapan yang terjadi setiap harinya. Meskipun itu
hanya sapaan, atau perintah, atau bahkan candaan. Aku senang. 3 tahun yang
membuat aku menjadi seperti orang paling bahagia di dunia ini. Dengan
penderitaan yang cukup berat, aku tetap bisa menjalani hidup ini dengan
senyuman, dahulu. Itu adalah masa lalu. Sudah jauh tertinggal dan habis dimakan
waktu.
Kau tahu apa yang aneh dan salah
pada diriku? Ketika semua peristiwa itu sudah lampau terjadi, aku masih tetap
memendamnya didalam hati. Ketika kau sudah mengubur kenangan itu sebisa
mungkin, aku masih menyisakan ruanguntuk menyimapn kenangan itu, kenangan kita.
3 tahun kita bertemu, 2 tahun
kita lewati hari-hari bersama. Sungguh, itu waktu yang sangat singkat. Aku
bahkan tak dapat mempercayai kalau kita sudah jauh, sudah berpisah. Seperti
masih sehari, seperti masih sebentar. Mungkin aku terlalu menikmati masa-masa
itu, jadi aku tak tahu jika pada akhirnya, kita harus berpisah.
Ya, berpisah. Kau pergi kesana,
aku tetap disini, menunggumu untuk pulang. Kau pergi jauh meninggalkanku, aku
tetap bersabar menunggu. Meski aku tahu itu rasanya sakit. Meski aku tahu itu
rasanya menyebalkan. Meski aku tahu itu melelahkan. Menunggu seseorang yang
bahkan tak kita ketahui apakah dia akan balik pulang, atau terus melangkah
bersama yang lain. Meninggalkanku, disini. Sendiri.
Kau tahu? Ini semua menyebalkan.
Aku marah—marah kepada diriku sendiri. Diriku yang terlalu bahagia akan
hadirnya dirimu, yang membuatku tak dapat melepas bayangmu dari hidupmu. Aku
marah pada diriku sendiri karena aku mempercayai semua ucapanmu—yang mungkin
saja kau ucapkan hanya untuk ,menghiburku, bukan sebagai janji. Aku terlalu
percaya, dan ketka aku dikecewakan, aku jatuh. Jatuh terpuruk. Tanpa ada apaun
yang menopang. Tanpa ada siapapun yang membantu. Disini, di jurang kegelapan.
Yang bahkan taka da satu orangpun yang mengetahui keberadaannya, sebab memang
keberadaannya itu kasat mata.
Aku hanya ingin kau tahu, aku
masih tetap disini. Sejahat apapun tindakan dan ucapanmu terhadapku, aku masih
akan tetap menunggu disini dengan sabar. Se benci apapun aku pada kata
menunggu, penantian ini masih tetap selalu kulakukan untukmu, hanya untukmu.
Agar kau tahu, bahwa diriku ini bukanlah pembohong. Agar kau percaya semua
kata-katauku, bahwa aku tak akan kemana-mana. Aku akan selalu ada disisini
kapanpun kau butuh. Aku akan selalu disini menunggumu, bagaimanapun situasinya.
Mungkin ini terdengar gila. Tapi
itu memang apa yang pernah aku ucapkan, dan aku harus bertanggung jawab dengan
apa yang telah aku ucapkan. Aku tak ingin menyakiti hati orang lain hanya karna
ucapanku, aku tak ingin dicap “sembarangan ngomong” oleh orang lain. Aku tak
peduli apapun pendapat orang-orang tentang aku. Tentang aku yang gila. Yang
masih bisa-bisanya menunggu seseorang yang bahkan sudah pergi dari kehidupanku.
Aku tak peduli jika semua orang berkata itu tidak ada gunanya, hanya akan
menyakiti diri sendiri saja. Mereka berkata begitu karena mereka tak tahu—bahwa
melepaskanmu dari hidupku adalah hal yang lebih menyaitkan dari hanya sekedar
menunggu. Ketika aku menunggu, peluang itu memang terlihat sangat kecil, tapi
aku yakin, harapan yang terlihat sangat kecil itu dapat berdampak besar dalam
penantianku.
Mungkin
itu hanya harapan, atau doa, aku tak tahu.